Senin, 06 Mei 2013

Legenda Si Phit Lidah

Tersebutlah kisah seorang pangeran dari daerah Sumidang bernama Serunting. Anak keturunan raksasa bernama Putri Tenggang ini, dikhabarkan berseteru dengan iparnya yang bernama Aria Tebing. Sebab permusuhan ini adalah rasa iri-hati Serunting terhadap Aria Tebing.
Dikisahkan, mereka memiliki ladang padi bersebelahan yang dipisahkan oleh pepohonan. Dibawah pepohonan itu tumbuhlah cendawan. Cendawan yang menghadap kearah ladang Aria tebing tumbuh menjadi logam emas. Sedangkan jamur yang menghadap ladang Serunting tumbuh menjadi tanaman yang tidak berguna.
Perseteruan itu, pada suatu hari telah berubah menjadi perkelahian. Menyadari bahwa Serunting lebih sakti, Arya Tebing menghentikan perkelahian tersebut. Ia berusaha mencari jalan lain untuk mengalahkan lawannya. Ia membujuk kakaknya (isteri dari Serunting) untuk memberitahukannya rahasia kesaktian Serunting.
Menurut kakaknya Aria Tebing, kesaktian dari Serunting berada pada tumbuhan ilalang yang bergetar (meskipun tidak ditiup angin). Bermodalkan informasi itu, Aria Tebing kembali menantang Serunting untuk berkelahi. Dengan sengaja ia menancapkan tombaknya pada ilalang yang bergetar itu. Serunting terjatuh, dan terluka parah. Merasa dikhianati isterinya, ia pergi mengembara.
Serunting pergi bertapa ke Gunung Siguntang. Oleh Hyang Mahameru, ia dijanjikan kekuatan gaib. Syaratnya adalah ia harus bertapa di bawah pohon bambu hingga seluruh tubuhnya ditutupi oleh daun bambu. Setelah hampir dua tahun bersemedi, daun-daun itu sudah menutupi seluruh tubuhnya. Seperti yang dijanjikan, ia akhirnya menerima kekuatan gaib. Kesaktian itu adalah bahwa kalimat atau perkataan apapun yang keluar dari mulutnya akan berubah menjadi kutukan. Karena itu ia diberi julukan si Pahit Lidah.
Ia berniat untuk kembali ke asalnya, daerah Sumidang. Dalam perjalanan pulang tersebut ia menguji kesaktiannya. Ditepian Danau Ranau, dijumpainya terhampar pohon-pohon tebu yang sudah menguning. Si Pahit Lidah pun berkata, “jadilah batu.” Maka benarlah, tanaman itu berubah menjadi batu. Seterusnya, ia pun mengutuk setiap orang yang dijumpainya di tepian Sungai Jambi untuk menjadi batu.
Namun, ia pun punya maksud baik. Dikhabarkan, ia mengubah Bukit Serut yang gundul menjadi hutan kayu. Di Karang Agung, dikisahkan ia memenuhi keinginan pasangan tua yang sudah ompong untuk mempunyai anak bayi

Legenda Joko Kendil

Pada zaman dahulu, hiduplah seorang wanita dengan anak laki-lakinya. Anak itu mempunyai bentuk fisik yang aneh. Badannya mirip dengan periuk. Karena itulah orang menyebutkan Joko Kendil*.
Walaupun tubuh Joko tidak normal, ibunya mencintainya apa adanya. Ia juga tak pernah menyesali nasib anaknya. Apa pun yang diminta Joko, ia selalu berusaha mengabulkannya.
Joko tumbuh sebagai anak yang bahagia. Ia dikenal sebagai anak yang jenaka. Tapi kadang-kadang Joko juga nakal. Ia sering ke pasar, lalu ia duduk di dekat pedagang. Pedagang mengira, Joko itu sebuah periuk. Sehingga ia menaruh sebagian makanannya di atas tubuh Joko. Ia juga sering menyelinap ke pesta. Orang menyangka Joko itu periuk biasa, sehingga orang itu menaruh makanan di sana. Kemudian dengan diam-diam Joko pulang dan membawa makanan untuk ibunya.
Ibu Joko marah melihat kenakalan Joko. Ia menyangka Joko mencuri. Joko lalu menjelaskan, kalau semua orang menyangka dirinya periuk. Ibunya pun tertawa mendengarnya.
Ketika Joko tumbuh dewasa, tubuh Joko tetap mirip periuk. Tapi yang mengherankan, Joko justru meminta ibunya mencarikan istri untuknya. Tidak tanggung-tanggung, Joko menginginkan putri raja sebagai istrinya. Tentu saja Ibunya kaget sekali. “Ingat Joko, kita ini orang miskin. Lagi pula, apakah kau tidak menyadari bentuk tubuhmu?” tanya Ibunya. “Jangan khawatir, Ibu. Percayalah, semuanya akan baik-baik saja. Sekali lagi, saya minta tolong, agar Ibu melamar putri raja untuk dijadikan istriku,” ujar Joko menghibur Ibunya.
Dengan hati penuh keraguan, Ibu Joko pergi menghadap Raja. Raja mempunyai tiga putri yang cantik. Ibu Joko mengungkapkan keinginan anaknya pada Raja. Raja sama sekali tidak marah mendengar penuturan Ibu Joko. Sebaliknya, Raja meneruskan lamaran itu pada ketiga putrinya.
Putri Sulung mengatakan, “Saya tak sudi, Ayahanda. Saya menginginkan suami yang kaya raya.” Putri Tengah mengatakan, “Suami yang saya inginkan? Seorang raja seperti Ayahanda.” Berbeda dengan ketiga kakaknya, Putri Bungsu justru menerima pinangan itu dengan senang hati. Raja sangat heran. Tapi karena Putri Bungsu sudah setuju, ia tak dapat mencegah pernikahan itu.
Sayangnya, Putri Bungsu selalu diejek kedua kakaknya. “Suamimu berjalan mirip bola menggelinding,” ejek Putri Sulung. “Suamimu mirip tempayan air,” ejek Putri Tengah. Putri Bungsu sedih. Tapi ia berusaha sabar dan tabah.
Suatu hari, Raja mengadakan lomba ketangkasan. Tapi Joko tidak bisa ikut. Ia mengatakan pada Raja, badannya sakit. Lomba ketangkasan itu diikuti banyak orang penting seperti para pangeran dan panglima. Mereka berlomba naik kuda dan menggunakan senjata. Tiba-tiba datang seorang ksatria gagah. Ia sangat tampan dan tangkas menggunakan senjata.
Putri Sulung dan Putri Tengah senang sekali melihatnya. Mereka jatuh cinta pada ksatria itu. Ia kembali mengejek adiknya, karena terburu-buru menikahi Joko Kendil.
Putri Bungsu pun berlari ke kamarnya sambil menangis. Di sana ia melihat sebuah kendi. Karena kesal, ia membanting kendi itu hingga berkeping-keping.
Ksatria gagah itu masuk ke dalam kamar Putri Bungsu. Ia mencari kendi, tapi kendi itu sudah hancur. Lalu ia melihat Putri Bungsu menangis tersedu-sedu. “Ada apa istriku?” tanyanya. Tentu saja Putri Bungsu kaget. Bukankah suaminya adalah Joko Kendil? Lalu ksatria itu menceritakan dirinya yang sebenarnya. Ia sebenarnya Joko Kendil, suaminya. Ia selama ini harus memakai pakaian dalam bentuk kendi. Tapi ia dapat kembali menjelma menjadi ksatria kalau seorang putri mau menikah dengannya.
Begitu tahu kalau ksatria tampan itu Joko Kendil, betapa menyesalnya Putri Sulung dan Putri Tengah. Sebaliknya dengan Putri Bungsu, ia menjadi sangat bahagia bersama Joko Kendil yang telah menjelma menjadi pria yang rupawan.
*Orang Jawa menyebut periuk = kendil.

Legenda Malik Angkeran

Pada jaman dulu di kerajaan Daha hiduplah seorang Brahmana yang benama Sidi Mantra yang sangat terkenal kesaktiannya. Sanghyang Widya atau Batara Guru menghadiahinya harta benda dan seorang istri yang cantik. Sesudah bertahun-tahun kawin, mereka mendapat seorang anak yang mereka namai Manik Angkeran.

Meskipun Manik Angkeran seorang pemuda yang gagah dan pandai namun dia mempunyai sifat yang kurang baik, yaitu suka berjudi. Dia sering kalah sehingga dia terpaksa mempertaruhkan harta kekayaan orang tuanya, malahan berhutang pada orang lain. Karena tidak dapat membayar hutang, Manik Angkeran meminta bantuan ayahnya untuk berbuat sesuatu. Sidi Mantra berpuasa dan berdoa untuk memohon pertolongan dewa-dewa. Tiba-tiba dia mendengar suara, “Hai, Sidi Mantra, di kawah Gunung Agung ada harta karun yang dijaga seekor naga yang bernarna Naga Besukih. Pergilah ke sana dan mintalah supaya dia mau mernberi sedikit hartanya.”

Sidi Mantra pergi ke Gunung Agung dengan mengatasi segala rintangan. Sesampainya di tepi kawah Gunung Agung, dia duduk bersila. Sambil membunyikan genta dia membaca mantra dan memanggil nama Naga Besukih. Tidak lama kernudian sang Naga keluar. Setelah mendengar maksud kedatangan Sidi Mantra, Naga Besukih menggeliat dan dari sisiknya keluar emas dan intan. Setelah mengucapkan terima kasih, Sidi Mantra mohon diri. Semua harta benda yang didapatnya diberikan kepada Manik Angkeran dengan harapan dia tidak akan berjudi lagi. Tentu saja tidak lama kemudian, harta itu habis untuk taruhan. Manik Angkeran sekali lagi minta bantuan ayahnya. Tentu saja Sidi Mantra menolak untuk membantu anakya.

Manik Angkeran mendengar dari temannya bahwa harta itu didapat dari Gunung Agung. Manik Angkeran tahu untuk sampai ke sana dia harus membaca mantra tetapi dia tidak pernah belajar mengenai doa dan mantra. Jadi, dia hanya membawa genta yang dicuri dari ayahnya waktu ayahnya tidur.

Setelah sampai di kawah Gunung Agung, Manik Angkeran membunyikan gentanya. Bukan main takutnya ia waktu ia melihat Naga Besukih. Setelah Naga mendengar maksud kedatangan Manik Angkeran, dia berkata, “Akan kuberikan harta yang kau minta, tetapi kamu harus berjanji untuk mengubah kelakuanmu. Jangan berjudi lagi. Ingatlah akan hukum karma.”

Manik Angkeran terpesona melihat emas, intan, dan permata di hadapannya. Tiba-tiba ada niat jahat yang timbul dalam hatinya. Karena ingin mendapat harta lebih banyak, dengan secepat kilat dipotongnya ekor Naga Besukih ketika Naga beputar kembali ke sarangnya. Manik Angkeran segera melarikan diri dan tidak terkejar oleh Naga. Tetapi karena kesaktian Naga itu, Manik Angkeran terbakar menjadi abu sewaktu jejaknya dijilat sang Naga.

Mendengar kernatian anaknya, kesedihan hati Sidi Mantra tidak terkatakan. Segera dia mengunjungi Naga Besukih dan memohon supaya anaknya dihidupkan kembali. Naga menyanggupinya asal ekornya dapat kembali seperti sediakala. Dengan kesaktiannya, Sidi Mantra dapat memulihkan ekor Naga. Setelah Manik Angkeran dihidupkan, dia minta maaf dan berjanji akan menjadi orang baik. Sidi Mantra tahu bahwa anaknya sudah bertobat tetapi dia juga mengerti bahwa mereka tidak lagi dapat hidup bersama.

“Kamu harus mulai hidup baru tetapi tidak di sini,” katanya. Dalam sekejap mata dia lenyap. Di tempat dia berdiri timbul sebuah sumber air yang makin lama makin besar sehingga menjadi laut. Dengan tongkatnya, Sidi Mantra membuat garis yang mernisahkan dia dengan anaknya. Sekarang tempat itu menjadi selat Bali yang memisahkan pulau Jawa dengan pulau Bali.

Legenda Asal Mula Gunung Batu Banawa

Konon pada jaman dahulu kala, di Desa Pagat, Kalimantan Selatan, hiduplah seorang janda tua bernama Diang Ingsung dengan seorang anaknya yang bernama Raden Penganten. Kehidupan mereka berdua diliputi dengan rasa kasih sayang, karena keluarga itu hanya terdiri dari dua orang sehingga tidak ada anggota keluarga lain tempat membagi kecintaannya.

Kehidupan mereka sangat sederhana. Mereka hanya hidup dari alam sekitarnya, tanaman hanya terbatas pada halaman rumahnya, demikian pula perburuannya terbatas pada binatang-binatang yang ada di sekitar desa mereka.

Karena itulah maka pada uatu hari Raden Penganten berminat untuk pergi merantau, mencari pengalaman dan kehidupan baru di negeri orang. Demikian keras kehendak Raden Penganten, sehingga walaupun ia dihalang-halangi dan dilarang ibunya, ia tetap juga pada kemauannya.
Akhirnya, si ibu hanya tinggal berpesan kepada anak satu-satunya yang ia kasihi, agar anaknya membelikan sekedar oleh-oleh apabila anaknya kembali dari perantauan. Maka, berangkatlah Raden Penganten ke sebuah negeri yang jauh dari desanya. Di sana ia dapat memperoleh rezeki yang banyak, karena selalu jujur dalam setiap perbuatannya. Di sana ia dapat pula menabungkan uangnya hingga dapat membeli barang-barang yang berharga untuk dapat dibawa kembali kelak. Di perantauan, Raden Penganten dapat pula menikah dengan seorang putri dari negri tersebut yang cantik paras mukanya.

Demikianlah maka Raden Penganten dapat tinggal di perantauannya, untuk beberapa tahun lamanya. Pada suatuketika timbullah niat Raden Penganten untuk kembali ke negerinya dan menjumpai ibunya yang telah lama ia tinggalkan.

Dibelinya sebuah kapal, lalu dipenuhi dengan barang-barang. Pada saat yang telah ditentukan, berangkatlah ia bersama istrinya menuju kampung halaman di mana ibunya tinggal. Berita kedatangannya itu terdengar pula oleh ibunya. Ibunya yang sekarang telah tua, dengan sangat tergesa-gesa datang ke pelabuhan untuk menjemput anaknya yang tercinta.

Namun ketika sampai di pelabuhan, betapa kecewanya hati Diang Ingsung, jangankan mendapat oleh-oleh yang dipesannya dulu, mengakui dirinya sebagai ibu yang telah melahirkannya pun, Raden Penganten tidak mau. Rupanya, di depan istrinya yang cantik jelita, ia merasa malu mengakui Diang Ingsung yang telah tua renta dan berpenampilan sangat bersahaja itu sebagai ibunya.

Betapa besar rasa kecewa dan sakit hati Diang Ingsung. Tapi ia masih berusaha menginsafkan anaknya yang durhaka itu, tapi Raden Penganten tetap membantah dan tetap tidak mau mengakui ibunya itu. Ia malahan membelokkan kapalnya mengarah ke tujuan lain meninggalkan pelabuhan dan Diang Ingsung yang hancur hatinya karena perbuatan anaknya yang durhaka.

Dengan hati yang penuh diliputi rasa kecewa dan putus asa, Diang Ingsung lalu memohon kepada yang Maha Kuasa agar anaknya mendapat balasan yang setimpal dengan kedurhakaan terhadap dirinya.

Seketika itu juga datanglah badai dan topan menghempaskan kapal Raden Penganten hingga pecah menjadi dua. Tentu saja seluruh isi kapal itu termasuk anaknya yang durhaka tenggelam dan binasa. Adapun bekas pecahan kapal itu kemudian berunah menjadi gunung batu yang kemudian dinamakan Gunung Batu Banawa.

Pesan Moral Cerita Rakyat Kalimantan Selatan Asal Mula Gunung Batu Banawa :
Perbuatan durhaka terhadap orang tua sangat dimurkai oleh Tuhan. Seorang anak seharusnya berbakti, mengasihi dan menyayangi orangtua yang telah melahirkan, mengasuh dan membesarkannya

Legenda Balikpapan Suku Balik

Di zaman dahulu kala di Kalimantan hiduplah suatu kaum yang dikenal dengan nama suku Balik, suku itu dipimpin oleh seorang kepala suku yang sangat bijaksana dan adil. Kepala suku itu memiliki seorang anak yang bernama pangeran Surya. Pangeran Surya adalah anak yang cerdas serta berbudi luhur. Sehingga baik kepala suku maupun anaknya sangat dicintai oleh rakyatnya.
Pada suatu hari datanglah rombongan yang berasal dari suku kenyah dan berniat untuk menikahkan putri mereka yang bernama Nirmala yang mengenakan topeng burung enggang sehingga orang mengira dia adalah putri yang buruk rupa.
Walaupun mendengar putri yang akan dinikahinya berwajah buruk tapi surya tetap menuruti permintaan ayahnya. Karena mereka telah dijodohkan semenjak masih kecil oleh orang tua mereka.
Pada suatu hari ketika Surya dan putri Nirmala sedang berjalan jalan di puncak bukit, tiba-tiba datanglah angin topan yang membawa Surya ke sebuah pulau yang belum pernah dijumpainya.
Sepeninggal Surya putri Nirmala sangat sedih karena kehilangan pangeran yang sangat dicintainya. Tetapi bukan hal nya dengan kepala suku kenyah yang menuduh pangeran surya sengaja melarikan diri dengan menggunakan kekuatan angin yang merupakan nenek moyang suku Balik. Kepala suku kenyahpun mengancam akan menyerang suku Balik apabila pangeran surya tidak kembali dalam waktu tujuh hari.
Sedangkan dipulau terpencil pangeran surya melakukan perjalanan yang tidak tentu arah untuk pulang ke desanya , didalam perjalanan pulang dia mendengar suara minta tolong, setelah didekati ternyata suara itu adalah seekor orang utan tua yang tertindis dahan pohon. Pangeran Surya segera menolong orang utan itu dan setelah bebas dari tindisan dahan pohon itu orang utan itupun memberikan bibit pohon kepada pangeran Surya seraya berpesan agar ditanam ketika ia membutuhkanya dengan terlebih dahulu mengucapkan tumbuh-tumbuh meranti, tumbuh-tumbuh meranti.
Pangeran surya pun melanjutkan perjalanannya, di tengah jalan dia dikejutkan oleh seorang nenek tua renta dan meminta tolong untuk diambilkan buah kelapa muda, tetapi pohon kelapa itu sangat tinggi, tingginya sepuluh kali pohon kelapa biasa. Pangeran Suryapun menyanggupi membantu nenek tua tersebut. Dengan bersusah payah pangeran Surya akhirnya bisa memetik buah kelapa yang diinginkan nenek tua tersebut. Setelah melepas dahaga dengan meminum air kelapa nenek tua itu memberikan sebilah mandau kecil dan beranjak pergi, seraya berkata gunakanlah jika kamu membutuhkannya dengan mengucapkan papan-papan belah, papan-papan belah.
Kembali pangeran surya berjalan dan lagi-lagi ia mendengar suara seekor burung enggang merintih kesakitan, karena sayapnya terluka tertusuk duri semak tempat dia hinggap, pangeran Surya pun bergegas memberikan pertolongan kepada burung enggang tersebut dan membalut lukanya dengan daun pandan. Burung enggang pun berterimakasih kepada pangeran surya dan memberikan sebuah bulu sayapnya seraya berkata gunakanlah jika kau membutuhkannya dan ucapkanlah Balik-Balik ke Balik, Balik-Balik ke Balik.
Pengeran Suryapun melanjutkan perjalanannya, dan diujung perjalanannya dia sampai dipinggir pantai dan merenung bagaimana dia harus menyeberang lautan yang seolah tak bertepi tersebut. Namun tiba-tiba dia teringat pesan orang utan tua yang ditolongnya, segera pangeran Surya mengeluarkan bibit pohon itu seraya mengucapkan tumbuh-tumbuh merantu, tumbuh-tumbuh meranti. Ajaib bibit pohon itu berubah menjadi pohong yang sangat besar. Tetapi pangeran surya menjadi bingung untuk apa pohon sebesar itu.
Pangeran surya pun kembali teringan akan pemberian sebilah mandau dari nenek tua, segera pangeran Surya mengayunkan mandau tersebut kearah pohon itu seraya berkata papan-papan belah, papan-papan belah. Dan kembali terjadi keajaiban pohon itu terbelah dan menjadi potongan kayu lebar tipis yang kita kenal sekarang ini dengan sebutan papan.
Pangeran surya segera mendorong papan itu ke laut dan mengeluarkan bulu enggang dan nenancapkannya didepan potongan kayu itu seraya berkata Balik-balik ke balik, Balik-balik ke Balik. Bulu enggang itu pun membesar dan menjadi layar . Pangeran surya pun berlayar menuju kampung halaman dengan dibantu bulu enggang sebagai penuntun arah.
Dilain tempat dipinggirpantai dua suka yang semula bersahabat hendak berperang, ratusan prajurit kenyah dengan gagahnya bersiap-siap hendap menyerang suku balik, tetapi ketika serangan hendak dilakukan tiba-tiba terdengar suara teriakan nyaring dari laut yang ternyata adalah pangeran Surya. Putri Nirmala yang ikut serta dalam rombongan ayah nya segera berlari dan memeluk pangeran surya seraya berkata aku selalu yakin bila kau akan kembali untukku sembari membuka topengnya, ternyata putri Nirmala adalah seorang putri yang sangat cantik jelita.
Akhirnya peperangan dapat dicegah dan hari itu pula pangeran Surya dan putri Nirmala dinikahkan. Adpaun kepala suku kenyah menerima penjelasan dari pangeran surya dan mengganti nama Suku Balik menjadi Balikpapan yang sekarang dikenal dengan nama Kota Balikpapan.

Minggu, 05 Mei 2013

Legenda Dirah dan Raja Airlanga

Penulis: Pekik Bayumukti Utomo | Editor: Edi Kusumawati

Barongsay (http://www.iconspedia.com/)

Anak-anak ini adalah sedikit kisah dari Pulau Dewata. Ini adalah kisah pertempuran antara kebaikan dan kejahatan.

Di sebuah desa bernama Desa Dirah/Girah di Kerajaan Kediri, hiduplah seorang penyihir yang bernama Dayu Datu. Dayu Datu adalah penyihir yang sangat sakti. Ia adalah penguasa Desa Dirah. Dayu Datu adalah penyihir kerajaan Kediri.

Dayu Datu mempunyai anak yang sangat cantik yang bernama Diah Ratna Mengali. Walaupun cantik namun tidak banyak pemuda yang berminat melamarnya karena mereka tahu bahwa ibunya Dayu Datu merupakan penyihir ilmu hitam di Kerajaan Kediri.

Diah Ratna Mengali ketika berjalan di jalan pedesaan bertemu dengan Si Brewok. Si Brewok adalah pemuda pemabuk di desa ini. Dia sangat suka menghina orang dan menjelek-jelekan orang. Ia menghina Diah Ratna Mengali bisa Leak (melakukan ilmu hitam) sama seperti ibunya.

Kalau ibunya penyihir pasti anaknya bisa sihir juga, dasar penyihir!” hina Si Brewok kepada Diah Ratna Mengali diikuti tawa para pemuda-pemuda desa Dirah. Mendengar anaknya di jelek-jelekkan, Dayu Datu tidak terima. Ia merasa terhina dan marah besar.

Dayu Datu kemudian memanggil murid-muridnya untuk menyebarkan penyakit di Desa Dirah. Pada malam hari dengan ilmu hitamnya, Dayu Datu dan murid-muridnya berubah menjadi Leak (setan) dan mengganggu seisi desa di Kerajaan Kediri.

Banyak rakyat yang meninggal karena gangguan Leak Dayu Datu dan murid-muridnya termasuk si Brewok yang menghina anaknya.

Mendengar rakyatnya banyak yang meninggal karena penyakit yang disebarkan Leak, Raja Airlangga kemudian memerintahkan kepada Panglima untuk melawan Dayu Datu dan pasukan Leaknya.
Kemudian Panglima segera menuju ke Desa Dirah dan bertempur melawan Dayu Datu. Pada malam harinya terjadi pertempuran yang sangat sengit antara pasukan Leak dengan pasukan Kerajaan Kediri. Pada pertempuran tersebut Panglima berubah menjadi Barong.

Barong kemudian melawan Leak. Barong tidak bisa melawan Leak yang ilmunya lebih tinggi kemudian Barong pun kalah.

Mendengar Panglima kalah, Raja Airlangga berpikir keras untuk menumpas kawanan Leak yang telah membuat banyak rakyatnya meninggal.

Ia kemudian memanggil Bagawanta Kerajaan (pemuka agama), yaitu Empu Bharadah  untuk memikirkan siasat melawan Dayu Datu dan pasukan ilmu hitamnya. Empu Bharadah kemudian mengirim anaknya Empu Bahula untuk berpura-pura menikahi Diah Ratna Mengali.
Empu Bahula bertugas untuk mencuri buku sakti milik Dayu Datu. Di buku itu terdapat rahasia mengenai Leak dan cara mengalahkannya.

Pada awalnya Dayu Datu tidak curiga dengan Empu Bahula karena Empu Bahula dan anaknya saling mencintai. Akan tetapi ternyata Empu Bahula juga mengemban tugas untuk mengambil buku sakti milik Dayu Datu.

Merasa dirinya telah di tipu oleh Empu Bharadah, Dayu Datu menantang Empu Bharadah untuk bertempur di Sentra Ganda Mayu (areal kuburan yang sangat luas di Kerajaan Kediri).
Di Sentra Ganda Mayu kekuatan Dayu Datu dan pasukan Leaknya sangat tinggi. Dayu Datu dan pasukan Leaknya dapat berubah wujud menjadi makhluk-makhluk menyeramkan yang dapat mengeluarkan bola-bola api.
Empu Bharadah yang di tantang juga memperiapkan diri dengan panah sakti dan didampingi oleh pasukan Balayuda kiriman Raja Airlangga.
Di kuburan luas (Sentra Ganda Mayu) terjadilah pertempuran besar. Petir dan kilat saling menyambar di Sentra Ganda Mayu. Pasukan Leak melawan pasukan Balayuda. Bola api menyambar silih berganti  dan tidak sedikit pasukan yang gugur. Pertempuran tersebut sangat lama hingga berlangsung sampai pagi menjelang. Oleh karena kekuatan Leak hanya kuat pada malam hari kemudian pasukan Leak Dayu Datu terdesak oleh pasukan Balayuda dan Empu Bharadah dari Kerajaan Kediri.

Dayu Datu yang telah terdesak kemudian mengeluarkan kesaktiannya. Ia berubah menjadi burung garuda berbulu emas dan kemudian melesat ke atas awan bersembunyi di balik awan.
Empu Bharadah kemudian melesatkan anak panah dari panah saktinya untuk membunuh Dayu Datu yang melesat ke atas awan.
13036291061822975948
Melesatkan panah

Akhirnya setelah tertusuk panah sakti dari Empu Bharadah, Dayu Datu kemudian meninggal dunia dalam pertempuran. Akhirnya penyakit yang disebarkan di Kerajaan Kediri seketika hilang. Rakyat Kediri pun kembali hidup tentram dan damai.

Demikianlah anak-anak cerita singkat yang dapat saya sampaikan. Mudah-mudahan kita dapat mengambil hikmah dari kisah diatas. Dan jangan suka menghina seperti Si Brewok hingga membuat Dayu Datu marah besar.

Legenda Pulau Senua Kepulauan Riau

Penulis: Santi Novaria | Editor: Dian
Pulau (http://www.conceptart.org)


Pada zaman dahulu, di Pulau Natuna, hiduplah sepasang suami istri yang miskin. Hidup mereka dari hari ke hari tak pernah membaik. Semua pekerjaan yang mereka upayakan tak pernah bisa cukup untuk sekedar memperbaiki nasib. Bahkan, untuk makan sehari-hari saja lebih sering tak cukup.
Hingga suatu hari, sang suami yang bernama Baitusen mendengar cerita tentang Pulau Bunguran yang kaya akan hasil lautnya. Maka, tak menunda waktu berlama-lama berangkatlah Baitusen dan Mai Lamah, istri yang dicintainya ke pulau tersebut.

Sesampai di Pulau Bunguran, Baitusen bekerja sebagai nelayan pengumpul siput dan kerang seperti pekerjaan penduduk lainnya. Sedangkan istrinya, Mai Lamah, membantu membuka kulit kerang untuk dijual sebagai bahan perhiasan.

Lama berselang setelah mereka tinggal di Pulau Bunguran, kehidupan Baitusen dan istrinya mulai membaik. Mereka hidup berbahagia. Tak hanya itu, penduduk Pulau Bunguran sangat menjunjung tinggi nilai persaudaraan dan suka menolong tanpa pamrih apapun. Itu jugalah yang membuat Baitusen kerasan tinggal di sana.

Kebahagiaan Baitusen dan Mai Lamah makin bertambah ketika Mai Lamah mulai mengandung. Baitusen yang begitu tahu perihal kehamilan istrinya semakin giat bekerja. Hasil tangkapannya sekarang bukan hanya kerang.

Baitusen mulai mencari teripang dan hasil laut lainnya. Harga teripang kering di daratan Cina sangat mahal. Dengan sekuat tenaga, Baitusen mengupayakan apa saja demi kesejahteraan keluarganya. Dia tidak ingin anaknya hidup susah seperti yang pernah dia alami sebelumnya.

Kegigihan Baitusen bekerja membuahkan hasil. Namanya semakin terkenal di antara para pedagang Cina pembeli teripang kering. Tak perlu menunggu lama, sejak menjadi nelayan penangkap teripang Baitusen menjadi orang terkaya dan terpandang di kampungnya.

Agaknya, kekayaan dan hidup mewah telah membutakan mata hati Mai Lamah. Mai Lamah telah menjadi nyonya kaya yang tinggi hati lengkap dengan dandanan yang seakan-akan menunjukkan kesombongannya. Mai Lamah lupa daratan. Silaunya harta telah merubah perangainya. Acap dia berkata kasar dan menyakiti hati tetangganya, ditambah lagi sifatnya yang sangat kikir dan tak peduli pada kesusahan tetangga. Teguran demi teguran dari suaminya tak pernah dihiraukan.

Para tetangga mulai menjauh dari keluarga Baitusen perlahan-lahan. Mereka mulai enggan untuk menyapa Mai Lamah, tetapi Mai Lamah justru merasa beruntung.

”Baguslah lagi macam ni. Tak banyak yang nak menyusahkan hidup kita, Bang,” begitu ucapan Mai Lamah pada suaminya suatu hari. Baitusen coba menasehati. Tapi, yang didapat Baitusen hanya kemarahan dari Mai Lamah. Mai Lamah tak bisa lagi masuk nasihat.

Hari berlalu begitu cepat hingga tak terasa tibalah waktunya bagi Mai Lamah untuk melahirkan. Baitusen yang panik mendengar erangan sakit dari istrinya, mencari pertolongan pada dukun beranak kampung yang biasa menolong orang-orang. Akan tetapi, karena rasa sakit hati akan ucapan Mai Lamah yang pernah menghina dirinya, membuat dukun beranak tadi tak sudi menolong Mai Lamah. Hatinya terlanjur terlalu luka oleh perkataan istri Baitusen.

Telah satu kampung dikelilingi Baitusen untuk mencari pertolongan bagi istrinya, tetapi tak satu pun yang sudi menolong. Tak ada jalan lain. Baitusen tak tega melihat istrinya menanggung rasa sakit semakin lama.

“Baik kita ke dukun beranak di seberang pulau sana saja, Dik.” Baitusen mencoba membujuk istrinya, “Abang dengar dekat sana ada yang bisa membantu. Baik kita bergegas.”

Mai Lamah yang tak punya pilihan lain akhirnya setuju. “Tapi, jangan lupa bawa juga semua emas kita, Bang.” Baitusen terpaksa menurut dan kembali lagi untuk mengambil emas dan memasukkannya ke perahu yang akan membawa mereka ke seberang.

Baitusen mendayung perahu dengan sekuat tenaga agar tiba di pulau seberang lebih cepat. Namun, sekuat apa pun Baitusen mengayuh, perahunya tetap saja tak bisa bergerak lebih cepat. Gelombang pasang memperlambat laju perahu. Ditambah lagi berpeti-peti emas yang memberati kapal.

Semakin ke tengah, perahu makin berguncang diamuk arus gelombang. Setengah mati Baitusen mendayung hingga habis seluruh tenaganya. Air semakin banyak masuk ke dalam perahu. Mai Lamah menjerit ketakutan. Di ujung sana, ombak besar menunggu untuk melahap perahu mereka. Dengan sekali sapuan, perahu terobang-ambing hingga kemudian terbalik dan tenggelam. Karam.
Tubuh Baitusen dan Mai Lamah hanyut terbawa gelombang air laut dan terdampar di pantai Pulau Bunguran Timur. Hujan deras dan angin kencang berpadu dengan kilat tak berhenti. Petir dan tiupan angin seolah saling bersahutan menyambut kedatangan sepasang suami istri yang terkapar di bibir pantai. Mai Lamah yang berbadan dua tersambar petir berkali-kali hingga mengubah tubuhnya menjadi batu.

Semakin lama, batu jelmaan tubuh Mai Lamah semakin membesar dan menjadi sebuah pulau yang dinamakan Pulau Senua. Sedangkan perhiasan emas yang dikenakan Mai Lamah berubah menjadi Pulau Bunguran.
___________

Catatan kaki: Oleh masyarakat sekitar, nama Senua berarti satu tubuh berbadan dua. Terletak di ujung Tanjung Senubing, Bunguran Timur. Saat ini, Pulau Bunguran terkenal sebagai pusat sarang burung Walet.

Legenda Telaga Pasir

Oleh: Khussy Alfarisi | Editor: Dian
Kehidupan di desa kecil (http://services.flikie.com/)

Telaga Pasir atau lebih dikenal dengan nama Telaga Sarangan terletak di lereng Gunung Lawu di Kabupaten Magetan. Ada legenda tentang telaga ini.

Alkisah pada jaman dahulu, ada sepasang suami istri bernama Kyai Pasir dan Nyai Pasir. Mereka tinggal di lereng gunung Lawu. Gunung yang lahannya subur, hutannya terjaga. Mereka hidup hanya berdua tanpa anak. Walau begitu mereka bahagia. Setiap hari mereka pergi ke ladang untuk bercocok tanam.

Hingga suatu hari setelah mencangkul, Kyai Pasir beristirahat di bawah rindangnya pohon sambil menikmati bekal yang dibawakan istrinya. Angin yang semilir membuatnya mengantuk. Akhirnya dia memutuskan untuk pulang ke rumah. Tetapi saat dia bangkit, dia melihat dua butir telur yang ukurannya tidak biasa. Besar. Rejeki, itu yang dipikirkan oleh Kyai Pasir. Akhirnya dia memungut kedua butir telur itu dan membawanya pulang.

Dengan langkah girang dia sampai di rumah. Istri yang setia menemaninya itu menyambut kedatangannya dengan wajah terheran-heran. Mengapa suaminya kelihatan gembira?
“Ada apa, Pak? Kok, kelihatannya gembira sekali,” Nyai Pasir duduk di balai-balai depan rumah sambil mengangsurkan kendi air kepada suaminya. Kyai Pasir meletakkan cangkulnya dan meletakkan bungkusan di atas balai-balai. Diteguknya air pemberian isterinya. Air kendi memang menyegarkan. Kendi itu ditaruh di samping tempat dia duduk. “Apa itu, Pak?” Nyai Pasir meraih bungkusan yang tergeletak dan membukanya. Dia kaget, dilihatnya ada dua butir telur yang besar. Dia kelihatan gembira. “Wah, Bapak dapat ini dari mana?”

“Tadi waktu hendak pulang, saya menemukan itu Bu. Masaklah untuk lauk kita nanti,” Kyai Pasir membaringkan dirinya.

“Baiklah Pak. Bapak istirahat saja dulu. Saya masak telur ini dulu,” Nyai Pasir bangkit sambil membawa kedua butir telur itu ke dapur. Wah, malam ini makan enak, itu yang dipikirkannya.

Ilustrasi telur (http://www.openclipart.org)
*
Beberapa saat kemudian, Nyai Pasir membangunkan suaminya. “Pak, bangun. Makanan sudah siap. Ayo kita makan, Pak.”

Kyai Pasir membuka matanya dan bangkit. Dia belum bisa membuka matanya dengan benar, mungkin masih mengantuk. Diseret langkahnya ke dalam rumah karena mencium bau harum makanan yang sudah dihidangkan isterinya.

“Wah….. Baunya harum, Nyi. Isteriku ini memang jago memasak ya?” Kyai Pasir tersenyum. Nyai Pasir memberikan piring tanah liat kepada suaminya. Nasi putih hangat dan telur bakar. Pasti nikmat. Apalagi ada sambalnya. Kyai Pasir segera mengambil nasi dan menguliti telur. Mereka berbagi telur satu-satu. Nikmat yang mereka rasakan hari itu. Setelah selesai makan, mereka duduk sebentar. Perut rasanya penuh. Nyai Pasir juga tidak segera membereskan sisa makanan mereka.

Sambil mengipas-ngipas tubuhnya yang gerah dengan kipas bambu, mereka berdua merasakan ada yang aneh di tubuh mereka. Semakin lama semakin terasa panas. Seluruh tubuh terasa gatal. Mereka menggaruk tubuh mereka hingga akhirnya tidak kuat dan berteriak meminta pertolongan. Mereka bergulingan di tanah. Berputar-putar sambil menggosokan badan mereka ke tanah.

Semakin lama tiba-tiba tubuh mereka keluar sisik. Mulai dari kaki hingga akhirnya seluruh tubuhnya. Mereka semakin meronta dan berputar di tanah. Tanah tempat mereka bergulingan menjadi sebuah lubang besar dan semakin dalam. Semakin lama semakin dalam dan mengeluarkan air hingga meluap dan membentuk sebuah telaga. Setelah itu dari dalam air itu muncul dua naga yang merupakan penjelmaan dari Kyai dan Nyai Pasir.

Tlogo Pasir atau Telaga Pasir, lebih dikenal dengan Telaga Sarangan
Hingga saat ini, banyak penduduk setempat yang sering melihat siluet naga muncul dari dalam telaga. Cerita ini pun turun temurun sering diceritakan dan menjadi sebuah legenda bagi masyarakat di sekitar Telaga Pasir.
***
Moral cerita:  janganlah mengambil barang yang bukan menjadi hak milik kita kalau tidak ingin kena masalah nantinya.
*Berdasarkan cerita yang turun temurun diceritakan dan dipercaya. Saya ceritakan kembali dengan gaya bercerita saya sendiri.

Legenda Pohon Kutukan

Penulis: Palris Jaya | Editor: Afandi
Pohon (http://www.gardeningsite.com/)

Di tepi hutan pinus, tinggal Bidara dan Bidari. Mereka sudah yatim piatu. Mereka hidup rukun dan saling mengasihi. Sang kakak, Bidara seorang gadis jelita dengan kulit kuning bercahaya. Rambutnya hitam tergerai indah. Hidungnya mancung. Tatapan matanya indah berbinar riang. Dan bibirnya selalu tersenyum ramah.

Namun sayang, Bidara memiliki suara yang sangat jelek. Bila berbicara, suaranya terdengar aneh dan sumbang. Seperti suara angsa di telaga.

Sedangkan adiknya, Bidari, sangat jauh berbeda. Bidari semenjak lahir terkena penyakit aneh. Kulitnya hitam kasar. Rambutnya seperti pohon meranggas, sangat sedikit dan jarang-jarang. Sehingga kulit kepalanya yang hitam kelihatan. Matanya putih keruh.
Tetapi Bidari memiliki suara yang sangat indah. Bila bernyanyi suara merdu terdengar hingga ke pelosok hutan. Bidari sangat pandai bernyanyi.

***
Suatu hari, datang utusan istana ke gubuk mereka. Pangeran Kristo hendak menyunting Bidara menjadi permaisurinya.

Bidara cemas dan sedih.
“Aku tidak mau meninggalkan kamu sendirian. Lebih baik aku menolak saja lamaran itu,” kata Bidara murung.

“Percayalah, Kak, aku akan baik-baik saja. Mungkin sudah takdirmu menjadi permaisuri,” bujuk Bidari.

“Siapa yang akan menemani kamu nanti?” kata Bidara.

“Bukankah teman-temanku banyak di hutan? Mereka selalu dapat menghiburku,” ucap Bidari.

“Bidari, aku cemas meninggalkanmu,” kata Bidara sedih.

“Aku dapat menjaga diriku. Oh, ya, aku ingin memberikan hadiah untukmu, Kak,” ujar Bidari dengan suara riang.

“Apakah itu?”

“Aku ingin memberikan suaraku untukmu.”

“Tapi bagaimana dengan suaramu nanti?” tanya Bidara keberatan.

“Aku tidak membutuhkannya di tengah hutan begini. Kau lebih membutuhkannya di depan rakyatmu dalam mendampingi tugas Pangeran Kristo.”

Kemudian Bidari mengusap lehernya. Sehelai cahaya berwarna emas ditariknya dari leher. Lalu diikatkannya ke leher Bidara, benang cahaya itu lenyap ke dalam leher Bidara. Kakaknya itu menangis penuh haru.

“Kau sangat tulus, Bidari. Aku akan selalu merindukanmu,” ucap Bidara. Suaranya telah berubah menjadi merdu dan indah. Mereka berpelukan erat seakan tak ingin berpisah.
Tiga hari kemudian, utusan Pangeran Kristo datang menjemput Bidara ke istana. Mereka pun berpisah.
Bidara akan di jemput ke Istana (http://grou.ps/duniaanak)
***
Sepeninggal Bidara, Bidari sering terlihat murung dan suka melamun. Siang itu Bidari sedang beristirahat di tepi sebuah telaga. Dia mencari kayu bakar terlalu jauh ke dalam hutan.

“Kau pasti teringat kakakmu?” tegur sebuah suara aneh. Bidari terkejut memandang sekelilingnya.
“Siapakah kamu? Aku tidak melihat siapa pun,” ujar Bidari. Hanya bibirnya saja yang bergerak-gerak. Sebab, suaranya telah lenyap.

“Aku adalah pohon tempatmu berteduh,” jawab suara aneh itu.

Bidari terkejut. Lalu memerhatikan sebatang pohon aneh tempat dia bernaung. Pohon itu hitam meranggas. Terlihat sangat tua dan lapuk. Namun seluruh cabangnya ditumbuhi semacam benalu berwarna merah. Bidari tidak pernah melihat pohon aneh itu.

“Aku seorang pangeran yang disihir oleh Penyihir Rimba Gelap. Karena aku tersesat ke wilayah kekuasaannya. Maukah kau menolongku?”

“Apa yang dapat aku lakukan?”

“Bersihkan semua benalu merah ini dari pohonku. Semakin lama aku bisa mati kehabisan sari hidup yang diserapnya dari tubuhku,” kata pohon itu lagi.

Sesaat Bidari ragu. Pohon itu sangat tua dan rapuh. Kelihatan tidak kuat menahan berat tubuhnya. Namun Bidari meneguhkan hati. Hati-hati Bidari mulai memanjat. Semakin lama semakin tinggi. Tangannya cekatan mencabuti benalu merah dari pohon itu.

Tiba-tiba… krak! Bidari menginjak dahan yang paling rapuh. Tubuhnya melayang jatuh. Kemudian Bidari tidak ingat apa-apa lagi.

***
Ketika sadar, seorang pemuda tampan duduk di samping Bidari.

“Siapakah kamu?” tanya Bidari terkejut. Aneh, suaranya terdengar merdu. “Oh, aku kembali memiliki suara,” ucapnya bahagia. Kemudian dia tersentak kaget. Penyakit aneh yang dideritanya telah sembuh. Dia menjadi gadis jelita.

“Aku Pangeran Kristaka yang dikutuk menjadi pohon. Kau membebaskan kutukanku. Tubuhmu jatuh ke dalam telaga yang bercampur benalu merah. Airnya berkhasiat menyembuhkan penyakitmu. Aku yang menolongmu dari dalam telaga,” ujar pemuda tampan itu. Bidari terpana. Raut wajah Pangeran Kristaka tak beda jauh dengan Pangeran Kristo.Kemudian Pangeran Kristaka meminang Bidari menjadi permaisuri, dan membawanya ke istana. Bidari sangat bahagia, karena bisa berkumpul kembali dengan kakaknya, Bidara, di istana….
Bidari pun akan di bawa ke Istana (http://2.bp.blogspot.com)
——-