Minggu, 05 Mei 2013

Legenda Pulau Senua Kepulauan Riau

Penulis: Santi Novaria | Editor: Dian
Pulau (http://www.conceptart.org)


Pada zaman dahulu, di Pulau Natuna, hiduplah sepasang suami istri yang miskin. Hidup mereka dari hari ke hari tak pernah membaik. Semua pekerjaan yang mereka upayakan tak pernah bisa cukup untuk sekedar memperbaiki nasib. Bahkan, untuk makan sehari-hari saja lebih sering tak cukup.
Hingga suatu hari, sang suami yang bernama Baitusen mendengar cerita tentang Pulau Bunguran yang kaya akan hasil lautnya. Maka, tak menunda waktu berlama-lama berangkatlah Baitusen dan Mai Lamah, istri yang dicintainya ke pulau tersebut.

Sesampai di Pulau Bunguran, Baitusen bekerja sebagai nelayan pengumpul siput dan kerang seperti pekerjaan penduduk lainnya. Sedangkan istrinya, Mai Lamah, membantu membuka kulit kerang untuk dijual sebagai bahan perhiasan.

Lama berselang setelah mereka tinggal di Pulau Bunguran, kehidupan Baitusen dan istrinya mulai membaik. Mereka hidup berbahagia. Tak hanya itu, penduduk Pulau Bunguran sangat menjunjung tinggi nilai persaudaraan dan suka menolong tanpa pamrih apapun. Itu jugalah yang membuat Baitusen kerasan tinggal di sana.

Kebahagiaan Baitusen dan Mai Lamah makin bertambah ketika Mai Lamah mulai mengandung. Baitusen yang begitu tahu perihal kehamilan istrinya semakin giat bekerja. Hasil tangkapannya sekarang bukan hanya kerang.

Baitusen mulai mencari teripang dan hasil laut lainnya. Harga teripang kering di daratan Cina sangat mahal. Dengan sekuat tenaga, Baitusen mengupayakan apa saja demi kesejahteraan keluarganya. Dia tidak ingin anaknya hidup susah seperti yang pernah dia alami sebelumnya.

Kegigihan Baitusen bekerja membuahkan hasil. Namanya semakin terkenal di antara para pedagang Cina pembeli teripang kering. Tak perlu menunggu lama, sejak menjadi nelayan penangkap teripang Baitusen menjadi orang terkaya dan terpandang di kampungnya.

Agaknya, kekayaan dan hidup mewah telah membutakan mata hati Mai Lamah. Mai Lamah telah menjadi nyonya kaya yang tinggi hati lengkap dengan dandanan yang seakan-akan menunjukkan kesombongannya. Mai Lamah lupa daratan. Silaunya harta telah merubah perangainya. Acap dia berkata kasar dan menyakiti hati tetangganya, ditambah lagi sifatnya yang sangat kikir dan tak peduli pada kesusahan tetangga. Teguran demi teguran dari suaminya tak pernah dihiraukan.

Para tetangga mulai menjauh dari keluarga Baitusen perlahan-lahan. Mereka mulai enggan untuk menyapa Mai Lamah, tetapi Mai Lamah justru merasa beruntung.

”Baguslah lagi macam ni. Tak banyak yang nak menyusahkan hidup kita, Bang,” begitu ucapan Mai Lamah pada suaminya suatu hari. Baitusen coba menasehati. Tapi, yang didapat Baitusen hanya kemarahan dari Mai Lamah. Mai Lamah tak bisa lagi masuk nasihat.

Hari berlalu begitu cepat hingga tak terasa tibalah waktunya bagi Mai Lamah untuk melahirkan. Baitusen yang panik mendengar erangan sakit dari istrinya, mencari pertolongan pada dukun beranak kampung yang biasa menolong orang-orang. Akan tetapi, karena rasa sakit hati akan ucapan Mai Lamah yang pernah menghina dirinya, membuat dukun beranak tadi tak sudi menolong Mai Lamah. Hatinya terlanjur terlalu luka oleh perkataan istri Baitusen.

Telah satu kampung dikelilingi Baitusen untuk mencari pertolongan bagi istrinya, tetapi tak satu pun yang sudi menolong. Tak ada jalan lain. Baitusen tak tega melihat istrinya menanggung rasa sakit semakin lama.

“Baik kita ke dukun beranak di seberang pulau sana saja, Dik.” Baitusen mencoba membujuk istrinya, “Abang dengar dekat sana ada yang bisa membantu. Baik kita bergegas.”

Mai Lamah yang tak punya pilihan lain akhirnya setuju. “Tapi, jangan lupa bawa juga semua emas kita, Bang.” Baitusen terpaksa menurut dan kembali lagi untuk mengambil emas dan memasukkannya ke perahu yang akan membawa mereka ke seberang.

Baitusen mendayung perahu dengan sekuat tenaga agar tiba di pulau seberang lebih cepat. Namun, sekuat apa pun Baitusen mengayuh, perahunya tetap saja tak bisa bergerak lebih cepat. Gelombang pasang memperlambat laju perahu. Ditambah lagi berpeti-peti emas yang memberati kapal.

Semakin ke tengah, perahu makin berguncang diamuk arus gelombang. Setengah mati Baitusen mendayung hingga habis seluruh tenaganya. Air semakin banyak masuk ke dalam perahu. Mai Lamah menjerit ketakutan. Di ujung sana, ombak besar menunggu untuk melahap perahu mereka. Dengan sekali sapuan, perahu terobang-ambing hingga kemudian terbalik dan tenggelam. Karam.
Tubuh Baitusen dan Mai Lamah hanyut terbawa gelombang air laut dan terdampar di pantai Pulau Bunguran Timur. Hujan deras dan angin kencang berpadu dengan kilat tak berhenti. Petir dan tiupan angin seolah saling bersahutan menyambut kedatangan sepasang suami istri yang terkapar di bibir pantai. Mai Lamah yang berbadan dua tersambar petir berkali-kali hingga mengubah tubuhnya menjadi batu.

Semakin lama, batu jelmaan tubuh Mai Lamah semakin membesar dan menjadi sebuah pulau yang dinamakan Pulau Senua. Sedangkan perhiasan emas yang dikenakan Mai Lamah berubah menjadi Pulau Bunguran.
___________

Catatan kaki: Oleh masyarakat sekitar, nama Senua berarti satu tubuh berbadan dua. Terletak di ujung Tanjung Senubing, Bunguran Timur. Saat ini, Pulau Bunguran terkenal sebagai pusat sarang burung Walet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar