Konon pada jaman dahulu kala, di Desa Pagat, Kalimantan Selatan,
hiduplah seorang janda tua bernama Diang Ingsung dengan seorang anaknya
yang bernama Raden Penganten. Kehidupan mereka berdua diliputi dengan
rasa kasih sayang, karena keluarga itu hanya terdiri dari dua orang
sehingga tidak ada anggota keluarga lain tempat membagi kecintaannya.
Kehidupan mereka sangat sederhana. Mereka hanya hidup dari alam
sekitarnya, tanaman hanya terbatas pada halaman rumahnya, demikian pula
perburuannya terbatas pada binatang-binatang yang ada di sekitar desa
mereka.
Karena itulah maka pada uatu hari Raden Penganten berminat untuk
pergi merantau, mencari pengalaman dan kehidupan baru di negeri orang.
Demikian keras kehendak Raden Penganten, sehingga walaupun ia
dihalang-halangi dan dilarang ibunya, ia tetap juga pada kemauannya.
Akhirnya, si ibu hanya tinggal berpesan kepada anak satu-satunya yang
ia kasihi, agar anaknya membelikan sekedar oleh-oleh apabila anaknya
kembali dari perantauan. Maka, berangkatlah Raden Penganten ke sebuah
negeri yang jauh dari desanya. Di sana ia dapat memperoleh rezeki yang
banyak, karena selalu jujur dalam setiap perbuatannya. Di sana ia dapat
pula menabungkan uangnya hingga dapat membeli barang-barang yang
berharga untuk dapat dibawa kembali kelak. Di perantauan, Raden
Penganten dapat pula menikah dengan seorang putri dari negri tersebut
yang cantik paras mukanya.
Demikianlah maka Raden Penganten dapat tinggal di perantauannya,
untuk beberapa tahun lamanya. Pada suatuketika timbullah niat Raden
Penganten untuk kembali ke negerinya dan menjumpai ibunya yang telah
lama ia tinggalkan.
Dibelinya sebuah kapal, lalu dipenuhi dengan barang-barang. Pada saat
yang telah ditentukan, berangkatlah ia bersama istrinya menuju kampung
halaman di mana ibunya tinggal. Berita kedatangannya itu terdengar pula
oleh ibunya. Ibunya yang sekarang telah tua, dengan sangat tergesa-gesa
datang ke pelabuhan untuk menjemput anaknya yang tercinta.
Namun ketika sampai di pelabuhan, betapa kecewanya hati Diang
Ingsung, jangankan mendapat oleh-oleh yang dipesannya dulu, mengakui
dirinya sebagai ibu yang telah melahirkannya pun, Raden Penganten tidak
mau. Rupanya, di depan istrinya yang cantik jelita, ia merasa malu
mengakui Diang Ingsung yang telah tua renta dan berpenampilan sangat
bersahaja itu sebagai ibunya.
Betapa besar rasa kecewa dan sakit hati Diang Ingsung. Tapi ia masih
berusaha menginsafkan anaknya yang durhaka itu, tapi Raden Penganten
tetap membantah dan tetap tidak mau mengakui ibunya itu. Ia malahan
membelokkan kapalnya mengarah ke tujuan lain meninggalkan pelabuhan dan
Diang Ingsung yang hancur hatinya karena perbuatan anaknya yang durhaka.
Dengan hati yang penuh diliputi rasa kecewa dan putus asa, Diang
Ingsung lalu memohon kepada yang Maha Kuasa agar anaknya mendapat
balasan yang setimpal dengan kedurhakaan terhadap dirinya.
Seketika itu juga datanglah badai dan topan menghempaskan kapal Raden
Penganten hingga pecah menjadi dua. Tentu saja seluruh isi kapal itu
termasuk anaknya yang durhaka tenggelam dan binasa. Adapun bekas pecahan
kapal itu kemudian berunah menjadi gunung batu yang kemudian dinamakan
Gunung Batu Banawa.
Pesan Moral Cerita Rakyat Kalimantan Selatan Asal Mula Gunung Batu Banawa :
Perbuatan durhaka terhadap orang tua sangat dimurkai oleh Tuhan. Seorang
anak seharusnya berbakti, mengasihi dan menyayangi orangtua yang telah
melahirkan, mengasuh dan membesarkannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar